Foto Wisudah Da’i Angkatan XVIII
Terbentang dalam sejarah pergerakan dakwah di Kabupaten Gowa, bahwa 31 tahun silam, dua tokoh utama Datok KH Muhammad Ramli bin Madal dan KH Muhammad Hasan Tahir yang didukung oleh beberapa sahabat lainnya menyepakati terbentuknya satu majelis yang diberi nama Ukhuwatul Islamiyah. Tersebut dalam selayang pandang organisasi Ukhuwatul Islamiyah bahwa awal mula pergerakan dakwah dilakukan di daerah Malino sebagai upaya untuk membentengi gejala pelemahan aqidah yang terjadi saat itu.
Ismail Rasulong
Tahapan Perjalanan Majelis Ukhuwatul Islamiyah
Seiring perjalanan waktu, sejak tahun 2000 an pergerakan dakwah khas Ukhuwatul Islamiyah mulai menyasar ke wilayah perkotaan terutama Makassar dan wilayah dataran rendah Kabupaten Gowa yang kemudian membangun markaz pergerakan dakwah di Panciro Kecamatan Bajeng. Sejak saat itu, kaderisasi penggerak dakwah sudah mulai dilakukan dengan merekrut orang-orang yang memiliki kesadaran sama bahwa ajaran ilmu hakikat khas Ukhuwatul Islamiyah harus disebarluaskan kepada umat sekaligus untuk merespon semakin banyaknya masyarakat yang ingin bergabung dan berguru kepada dua kyai khas Ukhuwatul Islamiyah.
Kini, Majelis Ukhuwatul Islamiyah telah menginjak usia yang relatif dewasa, 31 Tahun. Dalam rentang waktu tersebut, dapat dikatakan bahwa majelis ini telah memasuki etape keempat perjalanannya. Etape pertama adalah tahap peletakan dasar. Pada fase ini, kedua tokoh pendiri Ukhuwatul Islamiyah yaitu Datok KH Muhammad Ramli bin Madal dan KH Muhammad Hasan Tahir sepakat untuk mendakwahkan ilmu hakikat yang saat itu masih merupakan ilmu yang “disembunyikan”. Mereka memilih wilayah Malino Kabupaten Gowa sebagai basis utama pergerakan dakwah mereka di tahap awal karena adanya fenomena proses pendangkalan aqidah yang terjadi. Dengan semangat dan komitmen mereka berdua yang dibantu dengan beberapa orang sahabat, maka dakwah yang dilakukan terutama ajaran-ajaran ilmu hakikat berterima baik di kalangan masyarakat Malino saat itu.
Etape kedua adalah Tahap Perluasan Gerakan Dakwah. Antusiasme masyarakat Malino untuk mendalami ajaran-ajaran ilmu hakikat yang disebarkan oleh dua tokoh utama Ukhuwatul Islamiyah dan dibantu oleh beberapa orang sahabat beliau yang sudah memperoleh pembinaan khusus menstimuli semangat dan girah baru untuk memperluas wilayah dakwah ke Kota Makassar dan sekitarnya. Etape ini ditandai dengan membangun markaz dakwah dan pembinaan jamaah di Desa Panciro Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa.
Etape ketiga adalah Tahap Pengorganisasian Dakwah. Rupanya, antusiasme masyarakat untuk berguru ilmu hakikat kepada kedua tokoh sentral Ukhuwatul Islamiyah begitu berkembang sehingga jumlah jamaah semakin banyak dan harus dilayani dengan baik. Ajaran ilmu Hakikat tidak hanya menyebar di Kabupaten Gowa dan Kota Makassar tetapi orang-orang dari luar daerah tersebut juga mulai berdatangan. Keadaan ini menuntut energi ekstra dari kedua Kyai Utama Majelis ini. Oleh karena itu pada tahun 2005 dibentuklah lembaga perkaderan formal “Lembaga Dakwah Ukhuwatul Islamiyah – LDUI” yang disiapkan untuk membantu masyarakat yang rindu dan haus dengan ceramah atau pencerahan ilmu-ilmu Hakikat, apalagi pada saat itu jumlah jamaah telah menyebar secara luas ke daerah-daerah lain.
Etape Keempat adalah Tahap Penguatan Kelembagaan dan Diversifikasi Bidang Dakwah. Di usia yang ke-32 ini, Majelis Ukhuwatul Islamiyah sedang berada pada fase untuk penguatan kelembagaan organisasi dan perluasan bidang dakwah. Etape ini ditandai dengan pendaftaran yuridis formal organisasi dengan bentuk Yayasan Pendidikan Ukhuwatul Islamiyah dan Yayasan Qurra wal Huffadz Ukhuwatul Islamiyah. Kedua organisasi ini ibarat “Dwi Tunggal” –dua yang tak terpisahkan– karena Yayasan Pendidikan Ukhuwatul Islamiyah fokus pada pembinaan jamaah dan pengorganisasian dakwah sedangkan Yayasan Qurra wal Huffadz diikhtiarkan untuk mendiversifikasi gerakan dakwah di bidang pendidikan formal berupa pesantren tahfidz dan pesantren modern.
Tantangan dan Keniscayaan Organisasi
Menyitir salah satu ayat di QS As Shaaf ayat 4:
إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَ فِى سَبِيلِهِۦ صَفًّا كَأَنَّهُم بُنْيَٰنٌ مَّرْصُوصٌ
yang artinya, Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.
Organisasi adalah tempat berhimpun yang diikat oleh tujuan yang sama. Kesadaran akan pentingnya menghimpun jamaah telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebagai ikutan dan teladan umat muslim. Bahkan QS As Shaaf ayat 4 tersebut dengan jelas mengisyaratkan bahwa memperjuangkan kebaikan, menegakkan Kalimat Tauhid itu harus dilakukan dengan berjamaah atau berorganisasi. Penghimpunan di dalam barisan yang teratur hanya mungkin dicapai melalui pengorganisasian yang kuat dan kekokohan organisasi hanya bisa diciptakan jika hadir kesadaran para anggotanya untuk mencapai visi dan misi yang disepakati bersama. Itulah sebabnya Ali bin Abi Thalib, Sahabat sekaligus Menantu Rasulullah SAW pernah mengatakan “Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”.
Apa yang telah diletakkan pondasinya oleh dua tokoh utama Majelis Ukhuwatul Islamiyah yaitu Datok KH Muhammad Ramli bin Madal dan KH Muhammad Hasan Tahir harus dilanjutkan dan dikembangkan oleh jamaah yang masih hidup saat ini. Bahtera majelis ini telah berlayar dengan tujuan yang mulia membangun kesadaran dan menyebarkan kesadaran akan hakikat ajaran Rasulullah SAW. Pelayaran ini harus terus berlanjut, panji-panji dakwah ilmu hakikat dari Majelis Ukhuwatul Islmiyah mesti terus dikibarkan, dan semua itu hanya efektif jika dilakukan dalam kesatuan gerak dan terorganisir dengan baik.
Paling tidak, ada sekian banyak tantangan kekinian dari organisasi Ukhuwatul Islamiyah, diantaranya adalah:
Pertama, Penataan Struktur Kelembagaan
Mengutip Leach, Stewart, dan Waish (1994), mereka mengatakan bahwa struktur dari sebuah organisasi adalah pola aturan, posisi, dan peran yang memberikan arah dan koherensi pada strategi dan proses organisasi, dan secara tipikal digambarkan dalam diagram organisasi, deskripsi pekerjaan dan pola-pola kewenangan. Jumlah jamaah Ukhuwatul Islamiyah yang sudah banyak dan menyebar di setiap wilayah harus dihimpun dengan baik agar tidak terserak-serak. Oleh karena itu dibutuhkan pengaturan secara organisasi agar jangkauan koordinasi dari pusat hingga ke tingkatan paling bawah berjalan dengan baik dan kesatuan cita-cita yang diikat oleh kekuatan jamaah dapat tercipta. Bagaimana menciptakan itu? jawabannya adalah kelengkapan infstruktur dan suprastruktur organisasi.
Infrastruktur organisasi adalah seperangkat sarana yang disiapkan organisasi untuk menjamin agar fungsi-fungsi organisasi bisa berjalan dengan baik. Infrastrtuktur dapat berupa aturan, kebijakan, struktur organisasi, kewenangan dan tanggung jawab, dan lain sebagainya. Sedangkan Suprastruktur adalah sumber daya manusia yang akan menjalankannya.
Kedua, Inventarisasi dan Revitalisasi Da’i
Lembaga Dakwah Ukhuwatul Islamiyah (LDUI) yang selama ini menjadi ujung tombak utama penyebarluasan dakwah ilmu hakikat yang khas Ukhuwatul Islamiyah harus terkoordinasi dengan baik sampai ke tingkatan organisasi paling bawah. Jumlah Da’i yang telah dicetak memang terbilang sudah cukup banyak, paling tidak hingga saat ini sudah lebih dari 700 an Da’i bersertifikat Ukhuwatul Islamiyah. Kekuatan ini mestinya menjadi energi utama pergerakan organisasi ke depan dan harus dipastikan agar tetap istiqamah dan peduli pada organisasi yang melahirkannya. Inventarisasi kegiatan dakwah para Da’i Ukhuwatul Islamiyah bisa dilakukan pada sektor masing-masing dan Revitalisasinya bisa dikoordinasikan oleh organisasi pusat LDUI melalui refreshing Da’i secara berkala.
Ketiga, Kesadaran Kelembagaan
Kesadaran internal perlu ditumbuhkan dan dibangun sehingga kebijakan organisasi dapat dieksekusi secara berjamaah. Setiap organisasi pasti memiliki dinamikanya masing-masing, sehingga bisa dipastikan bahwa perbedaan persepsi antar anggota organisasi selalu ada. Tetapi menjadi tanggung jawab seluruh anggota pula untuk menghadirkan kesadaran pada ikatan cita-cita mulia dari organisasi yang tidak boleh dilupakan. Oleh karena itu penting ditanamkan agar para da’i yang dilahirkan dari proses pendidikan dan pelatihan formal untuk menumbuhkan kebersamaan, harmonisasi, dan kepaduan gerak untuk kepentingan organisasi secara keseluruhan. Ilmu yang diajarkan tidak hanya sekedar diterima dan dipahami tetapi juga organisasinya harus dikembangkan bersama dengan menghilangkan sikap apatisme dalam organisasi.
Majelis Ukhuwatul Islamiyah sebagai aset umat Islam harus dipastikan terus menerus hadir di tengah-tengah umat sebagai organisasi yang tidak sekedar mendakwahkan dan menyebarkan ilmu hakikat tetapi juga harus mengepakkan sayapnya untuk membukti nyatakan ajaran-ajaran Rahmatan Lil ‘Alamin dan hal itu akan indah jika dilakukan dengan gerakan kekuatan jamaah di tengah-tengah masyarakat.
Keempat, Pelacakan Jamaah Untuk Database
Rasanya sulit dibantah jika dikatakan bahwa jamaah Ukhuwatul Islamiyah sudah banyak dan tersebar dimana-mana. Tetapi berapa banyaknya dan dimana saja domisilinya, itulah yang “abu-abu” alias tidak ada data. Ukuran organisasi ditentukan oleh jumlah anggotanya dan karena Majelis Ukhuwatul Islamiyah ini adalah organisasi keagamaan dan dakwah maka data keanggotaan menjadi penting sebagai basis sumber daya sekaligus medan pembinaan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, belum terlambat jika mulai setelah milad ke 32 ini, pendataan jamaah harus dilakukan semampu yang bisa dilakukan mulai dari tingkatan paling bawah dan bagi jamaah yang baru akan bergabung harus teradministrasi dengan baik. Mengapa ini penting? karena salah satu faktor kemajuan organisasi dewasa ini ditentukan dari kemampuannya memanfaatkan data base yang ada untuk mendesain tindakan untuk mencapai visi dan misi organisasinya.
Kelima, Perluasan Bidang Kegiatan
Guna memastikan keberlanjutan organisasi di masa mendatang adalah lahirnya generasi-generasi pelanjut yang dipersiapkan sejak awal. Selama ini Majelis Ukhuwatul Islamiyah telah berhasil menyebarluaskan ajaran-ajaran ilmu Hakikat di tengah-tengah masyarakat ditambah setiap tahun pendidikan dan pelatihan Da’i secara formal dilakukan. Tetapi hal tersebut hanya menjangkau kalangan tertentu pada batasan umur yang tertentu pula. Oleh karena itu, dibutuhkan pelebaran sayap-sayap dakwah dengan menggarap bidang pendidikan formal kepesantrenan. Program ini telah dilakukan dengan adanya pendidikan tahfidz dan sekarang sudah diperluas lagi dengan membuka pesantren modern.
Pendidikan kepesantrenan menjadi garapan baru bagi Majelis Ukhuwatul Islamiyah. Jika rekruitmen anggota secara kultural selama ini telah berlangsung dan pendidikan Da’i juga sudah berjalan maka untuk mempersiapkan generasi pelanjut yang terdidik secara formal dilakukan melalui pesantren. Hal ini penting agar calon generasi muda Islam sejak awal sudah dibekali dengan pemahaman tauhid yang kuat sehingga aqidahnya kokoh dan kuat, demikian pula pengetahuan dan pengenalannya terhadap organisasi Ukhuwatul Islamiyah mendarah daging.
Disamping menggarap bidang pendidikan formal kepesantrenan, maka penting pula dipikirkan untuk bergerak pada bidan sosial keagamaan agar organisasi Ukhuwatul Islamiyah bisa hadir di tengah-tengah masyarakat dengan kontribusi nyata pada keberdayaan ummat. Apa yang bisa dilakukan dalam konteks ini? Tentu saja dengan memanfaatkan kekuatan jamaah dengan mengorganisasi sumber daya ekonomi ummat melalui lembaga amil zakat, infaq, shadaqah, dan waqaf (ZISWaf).
Demikianlah potret besar sebagai gagasan kecil dari saya sebagai seorang pemerhati gerakan dakwah dan keberdayaan umat. Pandangan ini merupan opini pribadi yang dirangkai menurut sudut pandang keilmuan saya di bidang manajemen. Akhirnya saya menyampaikan selamat Milad ke-31 kepada Majelis Ukhuwatul Islamiyah, Semoga organisasi ini dapat semakin berkembang, dikenal luas, dan bermanfaat nyata bagi umat dan keumatan.
والله عالم بشواب